PARADIGMA dan FILSAFAT KOMUNIKASI

PARADIGMA dan FILSAFAT KOMUNIKASI

Paradigma Komunikasi
Secara umum pengertian paradigma adalah seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang  menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari
B. Aubrey Fisher seorang pakar ilmu komunikasi yang terkenal dalam dekade terkahir ini telah berhasil mencatat adanya beberapa paradigma yang berkembang pada beberapa dekade terakhir ini dalam ilmu komunikasi. Sesuai judul buku –perspective on human communication- yang terbit pertama kali pada tahun 1978 itu, fisher tidak menggunakan istilah paradigma melainkan istilah persfektif, karena menurut pendapatnya, istilah paradigma dari Kuhn itu telah ditafsirkan secara berlain – lain  sehingga mencegah penggunaannya yang netral. Namun apa yang dimaksud dengan paradigma itu kurang lebih sama dengan perspektif. Fisher (1986, 85-86) mengakui bahwa perspektif dalam pandangan yang realistis, tidak mungkin lengkap, sebab pasti sebagian dari suatu fenomena yang sedang dilihat itu hilang dan yang lainnya mengalami distorsi, namun itulah hakikat perspektif. Justru itu perspektif boleh diartikan sebagai pendekatan, strategi intelektual, kerangkan konseptual dan paradigma. Dalam hal ini ia merangkum kajian komunikasi selama ini ke dalam 4 (empat) perspektif yang penting, yaitu perspektif (1) mekanistis (2) psikologis (3) interaksional dan (4) pragmatis.
1.      Paradigma/Perspektif  Mekanistik, memfokuskan perhatian pada saluran, dengan titik berat pada: 
Ø  Efek, sifat  saluran dapat berpengaruh pada efek yang diamati. Bilamana orang  membahas efek komunikasi, maka ia bergerak dalam paradigma mekanistik, yang bersifat linear.
Ø  Hambatan dan kegagalan. Citra  komunikasi yang mekanistik mengemukakan kiasan mesin sebagai analogi proses komunikasi. Kegagalan mekanistik berarti adanya penghentian komunikasi, sedangkan hambatan mekanistik mengemukakan adanya  gangguan pada saluran yang menahan arus pesan.
Ø  Gate keeping (penjaga gawang), bertindak sebagai sumber atau penerima yang menyaring informasi.

2.      Paradigma Psikologis
Paradigma/Perspektif Psikologis, memfokuskan perhatian  pada individu (komunikator dan komunikan) baik secara teoritis maupun empiris. Secara  lebih spesifik dari psikologis ini yang menjadi fokus  utama adalah mekanisme internal  penerimaan dan pengolahan informasi, dikenal dengan SOR (Stimulus-Organisme-Respons).
Dalam model psikologis manusia ditandai sebagai makhluk yang mempunyai fungsi ganda  menghasilkan dan menerima stimulus. Jadi manusia adalah seorang komunikator dan komuniket stimulus informasional. Ketika komuniket menyerap stimulus, ia secara otomatis mengolahnya  melalui berbagai filter. Filter ini merupakan keadaan internal manusia. Filter tidak dapat diamati secara langsung sebagai keadaan internal, akan tetapi dianggap sangat mempengaruhi peristiwa komunikasi. Filter dapat digambarkan sebagai sikap, keyakinan, motif, dorongan, citra, kognisi, konsep diri, tanggapan, orientasi atau sejumlah konstruk lainnya. Respons merupakan seperangkat stimulus informasi yang terstruktur  yang dikenal sebagai isyarat dan simbol. Respon tidak seluruhnya dapat diobservasi secara langsung, ada bagian-bagian tertentu dari respons itu yang tetap tersembunyi dan karenanya tidak dapat dilihat dalam peristiwa komunikasi.

3.      Paradigma Interaksional
Paradigma/Perspektif Interaksional, menunjukkan pandangan komunikasi manusia yang telah berkembang secara tidak langsung  dari cabang sosiologi yang dikenal dengan interaksional simbolik. Perspektif interaksional simbolik yang paling bersifat manusiawi, dengan menonjolkan keagungan dan nilai individu di atas nilai pengaruh lainnya. Konsep diri Mead ”I” (saya) dan ”Me” (ku), dalam perspektif interaksional ini, merupakan proses reflektif yang sangat berbeda dari psikologi perilaku (behaviorisme). Perspektif interaksional memungkinkan individu untuk melihat dirinya sendiri sebagaimana orang-orang  lain melihat padanya.

4.      Paradigma Pragmatis
Paradigma/Perspektif pragmatis merupakan yang terbaru dari empat perspektif yang ada dalam komunikasi. Perspektif pragmatis didasarkan pada asumsi pokok teori sistem dan teori informasi.
Perspektif pragmatis ini merupakan aplikasi yang sesuai dari teori sistem pada komunikasi dan jedlas merupakan perkembangan baru dyang berbeda untuk penelitian komunikasi. Sekalipun istilah pragmatika berasal dari studi semiotika, namun perspektif pragmatis tidak memiliki hubungan dengan semiotika untuk prinsip-prinsip  teoritis/filosofisnya.
Prinsip-prinsip pragmatis secara langsung lebih banyak berasal dari teori sistem umum, campuran, multisipliner. Perspektif pragmatis dimulai dengan perilaku orang-orang yang terlibat dalam komunikasi, dengan satuan komunikasi yang paling mendasar  adalah tindak perilaku secara verbal dan nonverbal. Sepanjang waktu pola interaksi  dapat dipengaruhi oleh poerubahan. Sistem komunikasi dapat mengubah pola interaksi yang khas, di mana perubahan itu secara empiris dapat diketahui melalui pencatatan perubahan dalam pola yang redundan dari interaksi ganda. Bergeser dari satu pola interaksi ke pola karakteristik lainnya menunjukkan bahwa sistem komunikasi itu meninggalkan satu fase interaksi dan meninggalkan fase yang lainnya.

Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy N. Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan Lincoln (1994) ada tiga paradigma : (A) paradigma klasik yang mencakup positivisme dan postpositivisme (B) paradigme kritis dan (C) paradigma konstruktivisme (Bungin, 2008 : 237)



A.    Paradigma Positivisme dan Postpositivisme
August Comte (1798-1857) adalah filsuf yang mempelopori kemunculan aliran filsafat postivisme. Positivisme mendominasi wacana ilmu pengetahuan pada awal abad 20-an dengan menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu manusia ataupun alam untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan yang benar. Demi terpenuhinya, kriteria-kriteria tersebut, maka ilmu-ilmu harus memiliki pandangan dunia positivistik sebagai berikut : pertama, objektif. Teori- teori tentang semesta haruslah bebas nilai. Kedua, fenomenalisme. Ilmu pengetahuan hanya membicarakan tentang semesta yang teramati. Ketiga, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati. Keempat, naturalisme. Alam semesta adalah objek- objek yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam. Positivisme memiliki pengaruh yang amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu bahkan sampai dewasa ini (Bungin, 2008:10).
Ketika para peneliti komunikasi pertama kali berkeinginan meneliti dunia sosial secara sistematis, mereka menggunakan ilmu pengetahuan fisik sebagai model. Kelompok ilmu yang tergolong dalam ilmu pengetahuan fisik meyakini positivisme sebagai suatu pandangan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui fenomena yang empiris, dapat diamati dan diukur serta diuji dengan metode ilmiah. Akan tetapi, manusia bukanlah seperti gelas kimia yang berisi air. Akibatnya, para ilmuwan sosial berkomitmen dengan praktik metode ilmiah yang menggunakan teori postpositivis, yaitu teori yang didasarkan pada pengamatan empiris yang diarahkan oleh metode ilmiah, tetapi menyadari bahwa manusia dan perilaku manusia tidak sekonstan elemen yang ada didunia fisik (Davis dkk, 2010 :14).
Namun dalam praktiknya, implikasi metodologi keduanya tidak jauh berbeda. Sehingga dalam tulisannya, Guba menyatukan nya dalam paradigma klasik (Bungin, 2008 : 238)
Dalam memandang suatu wacana dari segi bahasa menurut Moh. A.S. Hikam, paradigma positivisme dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama dan diukur kebenaran/ketidakbenarannya terhadap sintaksis dan semantik. Selain itu pandangan positivisme juga menganggap bahwa media adalah saluran pertukaran pesan dan berita adalah cerminan dan refleksi dari kenyataan. Karena itu berita haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang dipilihnya, opini dan pandangan subjektif dari pembuat berita harus disingkirkan. Wartawan berperan sebagai pelapor sehingga berita yang diterima pada tangan pembaca sama dengan apa yang dimaksudkan dengan pembuat berita. (Eriyanto, 2001:

B.     Paradigma Konstruktivisme
Dalam aliran Filsafat seperti yang dinyatakan oleh K. Bertens (1993), gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Dan gagasan itu lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia juga mengatakan bahwa, manusia adalah mahluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan dengan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.
Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Suparno (1997): pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotesis; ketiga, konstruktivisme biasa. Konstrukstivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dari dunia nyata. Pengetahuan bagi mereka merefleksi suatu realitas objektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Dalam pandangan realisme hipotetis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Sedangkan untuk konstruktivisme biasa memandang bahwa pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme dapat dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang disekitarnya. Dan konstruksivisme semacam inilah yang oleh Berger dan Luckmann (1990) disebut dengan konstruksi sosial (Bungin, 2011:14).
Pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat, yaitu:
1.      Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda (Gans, dalam Eriyanto, 2002:19)
2.      Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakannya. Lewat bahasa yang dipakai; media dapat menyebut mahasiswa sebagai pahlawan dapat juga menyebutnya sebagai perusuh.
3.      Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis, bukan kaidah baku jurnalistik
4.      Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.
5.      Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial.
6.      Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan satu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu, adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas.
7.      Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif, yang mempunyai tafsiran sendiri yang bisa saja berbeda dari pembuat berita (Zamroni, 2009:95)

C.    Paradigma Kritis
Paradigma ini beranggapan bahwa realitas yang kita lihat adalah realitas semu, realitas yang telah terbentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik, nilai gender, dan sebagianya, serta telah terkristalisasi dalam waktu yang panjang (Hamad, 2004:43).
Paradigma kritis hadir untuk mengoreksi paradigma konsturktivis yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam (Eriyanto,2001:6), pandangan konsturktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan
kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya.
Hal inilah yang melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran pada anlaisis konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekannkan pada konstelasikekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.
Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat dipengaruhi dan berhubungan dengan kekuatan sosial yang ada dimasyarakat. Bahasa juga disini dianggap bukan sebagai medium yang netral yang terletak di luar diri si penulis. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang membentuk subjek tertentu, tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya.
Oleh karena itu analisis teks dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti digunakan, atau topik apa yang seharusnya dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasiyang terdapat dalam masyarakat. (Eriyanto,2001:6)



Filsafat Komunikasi
Filsafat Ilmu Komunikasi dapat diartikan sebagai kegiatan berpikir dan mengkaji secara lebih mendalam, cermat, dan kritis terhadap proses komunikasi yang meliputi ontologinya, epistemologinya maupun aksiologinya dan mencoba memperoleh jawaban yang tepat dengan terus menanyakan jawaban-jawaban untuk memecahkan masalah-masalah dalam proses komunikasi tersebut. 
(Kriyantono, 2012)
Menurut Richard Lanigan
            Didalam karyanya yang berjudul “Communication Models in Philosophy, Review and Commentary” membahas secara khusus “analisis filsafati mengenai komunikasi”. Richard Lanigan mengatakan ; bahwa filsafat sebagai disiplin biasanya dikategorikan menjadi sub-bidang utama menurut jenis justifikasinya yang dapat diakomodasikan oleh jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut ini :
 -  Apa yang aku ketahui ? (What do I know ?)
 -  Bagaimana aku mengetahuinya ? (How do I know it ?)
 -  Apakah aku yakin ? (Am I sure ?)
 -  Apakah aku benar ? (Am I right ?)
Pertanyaan-pertanyaan di atas berkaitan dengan penyelidikan sistematis studi terhadap : Metafisika, Epistemologi, Aksiologi dan  Logika.

Empat studi tersebut merupakan empat pilar filsafat dalam kegiatan komunikasi. Berikut ini adalah penjelasan tentang empat pilar filsafat diatas :
1.      Ontologi : studi tentang sifat dan fungsi teori tentang realita. Merupakan kajian tentang hakekat  keberadaan zat, hakekat pikiran, dan hakekat kaitan zat dan pikiran. Jika dalam kegiatan komunikasi, ontologi merupakan pengetauan tentang hal apa yang ingin orang sampaikan kepada orang lain.
2.      Epistemologi : cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia. Berkaitan dengan bagaimana pengetahuan disusun. Dalam kaitannya dengan komunikasi, epistemologi merupakan bagaimana orang harus menyusun pesan yang ingin ia sampaikan kpada orang lain.
3.      Aksiologi : asas mengenai bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan. Merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan etika, estetika, dan agama. Dalam filsafat komunikasi, aksiologi menyadarkan bagaimana pentingnya seorang komunikator harus mempertimbangkan nilai pesan yang akan dia sampaikan. Apakah pesan yang akan dia komunikasikan itu etis atau tidak.
4.      Logika : berkaitan dengan telaah terhadap asas-asas dan metode penalaran secara benar. Suatu pemikiran yang dikomunikasikan terhadap orang lain merupakan putusan sebagai hasil dari proses pemikiran logis.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISA IKLAN TERHADAP CITRA PRODUK

PERSPEKTIF dalam KOMUNIKASI PERSUASIF